MANAJEMEN MUTU DALAM PENDIDIKAN
ISLAM
Oleh : ILHAMDI
I.
PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama samawi yang dibawa
oleh Muhammad saw untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia.
Dalam doktrin ajaran Islam yang syamil (komprehensif)
menjelaskan semua aspek baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat atau pun segala sesuatu yang akan dikerjakan oleh manusia
untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Untuk melakukan pekerjaan
harus terencana, terukur dan terarah, sebagai pengejewantahan nilai-nilai
Islam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesuatu yang akan dikerjakan haruslah
terprogram tidak boleh asal-asalan. Oleh sebab itu Islam memberikan tatanan
“nilai pengelolaan” mulai dari urusan yang terkecil sampai yang terbesar, mulai
dari mengurus diri sendiri (keluarga) hingga mengurus masyarakat, mulai dari
mengurus kehidupan berumah tangga sampai dengan mengurus negara dalam bingkai
sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai melalui visi dan misi bisa
diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun
suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju
dengan mengoptimalkan dan memberdayakan semua potensi dan partisipasi
masyarakat. Sebab pendidikan merupakan struktur pokok yang memberikan fasilitas
bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang
diperlukan.[1] Bahkan secara makro, pendidikan merupakan
“jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan negara,[2] bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor
pendidikan.[3]
Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam merupakan suatu kawah
candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan
peradaban madani,[4] dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat
manusia.[5] Dengan demikian, pendidikan tersebut
dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya,
melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki
kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani kehidupannya.[6]
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1)
masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan
relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum
terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan
kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan
lebih khusus pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan
lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui
penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi
justru malah menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha
selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi dan
konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih dalam pengelolaan pendidikan Islam yang
merupakan salah satu segi penopang kehidupan yang urgen untuk membangun peradaban
dan menjadikan manusia yang lebih baik dan berkarakter serta penuh dengan
“keridhaan” Tuhan. Pengelolaan pendidikan Islam yang profesional dan bermutu
bukan merupakan hal yang mudah bagi seseorang atau lembaga pendidikan di negeri
ini.
Dunia pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh
dengan liku-liku permasalahan yang secara subtansial bisa dikatakan sebagai
cawah candradimuka pemeras waktu, tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk
manusia yang paripurna. Oleh sebab itu, yang paling inti di dalamnya adalah
pola manajemen pengembangan kelembagaan dan kependidikan yang akan menjadi
barometer keberhasilan pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya.[7]
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan
Islam belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian mutu pendidikan Islam
di negeri ini, terutama di pulau Jawa, menunjukan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup signifikan dan menggembirakan, namun sebagian mutu pendidikan Islam lainnya
yang berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua serta daerah lainnya masih
memprihatinkan. Secara fungsional, pendidikan Islam pada dasarnya ditujukan
untuk memelihara dan mengembangkan manusia seutuhnya (insan kamil) yakni
manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[8]
Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Islam untuk
melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil) dengan berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar juga wahyu)[9]
merupakan suatu bentuk kemutlakan pada ranah teoritis-normatif maupun
aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan nilai normatif yang
“harus” dijadikan sebagai kerangka yang bermuara pada pandangan hidup, sikap
hidup, dan tujuan hidup yang semuanya harus bernapaskan Islam dan dijiwai oleh
ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang; (a) pengertian
pendidikan Islam dan ruang lingkupnya, (b) kondisi obyektif pendidikan Islam
dewasa ini, (c) manajemen
mutu dalam pendidikan Islam.
II. Pembahasan
A. Pengertian Pendidikan Islam dan Ruang Lingkupnya
Muhammad
Hamid An-Nashir dan Qullah Abdul Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa,
tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan
menuju kesempurnaan.[10] Sementara itu Omar Muhammad At-Taumi
Asy-Syaibani sebagaimana dikutip oleh M. Arifin, menyatakan bahwa pendidikan
Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau
kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya.[11]
Sedangkan
menurut Achmadi yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.[12]
Pendidikan
Islam dalam wacana umum merujuk pada tiga pengertian yang merupakan satu
kesatuan, yaitu : Pertama, pendidikan
menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan
dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam
sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam pengertian ini,
pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan
diri atau dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Kedua, pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam yakni upaya
pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan
Islam dapat berujud: (a) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu
lembaga tertentu untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam
menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, (b) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan
antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan
tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa
pihak. Ketiga, pendidikan dalam Islam
atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan
berkembang dalam sejarah umat Islam, baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun
sistem budaya dan peradaban sejak zaman nabi Muhammad saw sampai sekarang. Jadi
dalam pengertian ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai
pembudayaan dan warisan ajaran agama, budaya, dan peradaban umat Islam dari
generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.[13] Walaupun
istilah pendidikan Islam dapat dipahami dengan cara yang berbeda, namun pada
hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu
sistem yang utuh.
B. Kondisi Obyektif Pendidikan Islam Dewasa Ini
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim
terbesar di dunia. Pada dekade 1990an, Indonesia pernah disebut-sebut sebagai
sebuah negara yang akan memunculkan kembali kejayaan Islam. Hal ini bukan tidak
mendasar, karena menurut beberapa penelitian yang mengangkat fenomena
islamisasi di kawasan ini sangat akseleratif bahkan berimbas pada skala makro
yaitu di Asia Tenggara.[14] Sayangnya yang dirasakan sampai sekarang
adalah bahwa pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun outputnya
belum menunjukan data yang menggembirakan.
Pada ranah institusional, banyak ditemui lembaga
pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau layak secara standar
kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam penyelenggaraannya diiringi motif
dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun masih jauh dari mutu standar
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Jika dilihat dari prespektif
manajemen, maka pengelolaannya masih sangat konvensional. Implikasinya adalah
kualitas output yang ditelurkannya kurang atau bahkan jauh dari standar mutu
pendidikan global. Walupun pada tataran riil ada produk lembaga pendidikan
Islam yang mungkin melebihi kualitas sekolah umum, tetapi data ini belum
representatif untuk mewakili komunitas lembaga pendidikan Islam secara
keseluruhan.
Berdasarkan data Human
Development Indexs Report 1999, melaporkan bahwa pembangunan pendidikan
Islam di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Bahkan
dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, kita berada diurutan 105,
jauh di bawah Singapura (22), Brunai (25), Malaysia (56), Thailand (67), dan
Srilanka (90).[15] Sedangkan penelitian tahun 2000, peringkat
mutu pendidikan Indonesia menurun menjadi urutan ke-109.[16] Hasil penelitian PBB (UNDP) tahun 2000
menunjukan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia menduduki urutan
ke-109 dari 174 negara yang diteliti.[17] Bahkan pada tahun 2009, Indonesia pun masih
menduduki urutan ke-111 dari 182 negara, atau sangat jauh dibandingkan dengan
negara tetangga.[18]
Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan di Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam tertinggal
jauh dibanding negara yang lainnya. Tentunya di dalamnya termasuk pula
pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius
pada lembaga pendidikan Islam formal,
maupun non formal untuk memainkan peran signifikan pada arah pengelolaannya.
Artinya diperlukan manajemen yang bermutu dalam pengembangan lembaga pendidikan
Islam yang profesional sebagai jawaban atas problematika tersebut lebih-lebih
dalam konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
C. Manajemen Mutu Pendidikan Islam
Menurut kamus ilmiah populer manajemen mempunyai arti
pengelolaan usaha, kepengurusan, ketatalaksanaan penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran yang diinginkan.[19] Secara etimologis, kata manajemen berasal
dari kata managio yang berarti
pengurusan atau managiare yaitu
melatih dalam mengatur langkah-langkah, atau dapat juga berarti getting done through other people. Ada
juga yang berpandangan lain bahwa dari sudut istilah, manajemen berasal dari
manage. Kata ini, berasal dari Italia; managgiare
yang secara harfiah berarti menangani atau melatih kuda, secara maknawi
berarti memimpin, membimbing, atau mengatur. Sehingga dari asal kata ini,
manajemen dapat diartikan sebagai pengurusan, pengendalian, memimpin atau
membimbing.[20] Menurut para ahli manajemen adalah proses
mendayagunakan orang atau sumber lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien.[21] Nanang Fattah memberikan batasan tentang
istilah manajemen bahwa manajemen merupakan proses merencana, mengorganisasi,
memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan
organisasi tercapai secara efektif dan efisien.[22]
Sementara itu menurut Malayu Hasibuan memberikan
definisi bahwa manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.[23] Oemar Hamalik memberikan batasan definisi
manajemen sebagai suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha
manusia dengan bantuan manusia lainnya serta sumber-sumber lain, menggunakan
metode yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan
sebelumnya.[24]
Dari berbagai definisi-definisi diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa manajemen adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses
pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Dari pengertian ini dapat
diangkat suatu bentuk pemahaman bahwa dalam manajemen ada sebuah proses yang
merupakan bentuk kemampuan atau keterampilan memperoleh hasil dalam rangka
mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan organisasi. Proses ini meliputi
tahapan awal berupa perencanaan (planning),
mengorganisasi (organizing), memimpin
(guiding) dan mengendalikan (controlling) sampai pada pencapaian
tujuan.
Selanjutnya yang berkaitan dengan mutu dalam dunia
manajemen, mutu mempunyai arti kualitas, derajat, tingkat.[25] Dalam bahasa Inggris, mutu diistilahkan
dengan “quality”.[26] Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah “juudah”.[27]
Secara terminologi istilah mutu memiliki pengertian
yang cukup beragam, mengandung banyak tafsir dan pertentangan. Hal ini disebabkan
karena tidak ada ukuran yang baku tentang mutu itu sendiri. Sehingga sulit
kiranya untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama, apakah sesuatu itu bermutu
atau tidak. Namun demikian ada kriteria umum yang telah disepakati bahwa
sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika bernilai baik atau mengandung makna
yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan kepada sesuatu ukuran
penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang dan atau
kinerjanya.[28] Menurut B. Suryobroto, konsep mutu mengandung
pengertian makna derajat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik
berupa barang maupun jasa, baik yang tangible
maupun intangible.[29]
Dari beberapa pengertian diatas, mutu mempunyai makna
ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun
jasa (produk) yang mempunyai sifat absolut dan relatif. Dalam pengertian yang
absolut, mutu merupakan standar yang tinggi dan tidak dapat diungguli. Biasanya
disebut dengan istilah baik, unggul, cantik, bagus, mahal, mewah dan
sebagainya.[30] Jika
dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu pendidikan adalah elit,
karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman pendidikan
dengan mutu tinggi kepada anak didik. Dalam pengertian relatif, mutu memiliki
dua pengertian. Pertama, menyesuaikan
diri dengan spesifikasi. Kedua, memenuhi
kebutuhan pelanggan.[31]
Mutu dalam pandangan seseorang terkadang bertentangan dengan mutu dalam pandangan
orang lain, sehingga tidak aneh jika ada pakar yang tidak mempunyai kesimpulan
yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.[32]
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
manajemen mutu adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan
sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian
tujuan secara efektif dan efisien. berdasarkan ukuran, kadar, ketentuan dan
penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan
kepuasan pelanggan.
Manajemen mutu dalam pendidikan (Islam) lebih populer dengan
sebutan istilah Total Quality Education
(TQE). Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten
terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam
dunia pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai
institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi
yang memberikan pelayanan (service)
sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (custumer).
Manajemen pendidikan mutu berlandaskan kepada
kepuasaan pelanggan sebagai sasaran utama. Pelanggan pendidikan ada dua aspek,
yaitu; pelanggan internal dan pelanggan eksternal.[33] Pendidikan berkulitas apabila :
1.
Pelanggan
internal (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berkembang baik fisik maupun
psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finasial. Sedangkan secara
psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar mengembangkan
kemampuan, bakat dan kreativitasnya.
2.
Pelanggan
eksternal :
a.
Eksternal
primer (para siswa) : Menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang
baik, punya keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, integritas tinggi,
pemecah masalah, dan pencipta pengetahuan serta menjadi warga negara yang bertanggungjawab.
b.
Eksternal
sekunder (orang tua, pemerintah, dan perusahaan) : Para lulusan dapat memenuhi
harapan orang tua, pemerintah, dan perusahaan dalam hal menjalankan tugas-tugas
yang diberikan kepadanya.
c.
Eksternal
tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) : Para lulusan memiliki kompetensi
dalam dunia kerja dan pengembangan masyarakat, sehingga mempengaruhi pada
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial.
Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan
Islam sebagai industri jasa harus memenuhi standar mutu. Institusi dapat
disebut bermutu, harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Secara
operasional, mutu ditentukan dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang
telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan
menurut tuntutan dan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut, mutu
sesungguhnya, mutu yang kedua disebut mutu persepsi.
Standar mutu produksi dan pelayanan diukur dengan
kriteria sesuai dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan pembuatan dan
penggunaan, tanpa cacat, dan selalu baik sejak awal. Mutu dalam persepsi diukur
dari kepuasaan pelanggan atau pengguna, meningkatnya minat dan harapan serta
kepuasaan pengguna. Dalam penyelenggaraannya mutu sesungguhnya merupakan profil
lulusan institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi tujuan pendidikan,
yang berbentuk standar kemampuan dasar berupa kualifikasi akademik minimal yang
dikuasai peserta didik. Sedangkan pada mutu persepsi pendidikan adalah
kepuasaan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi
pendidikan.
Beranjak dari pembahasan tersebut dalam operasi
manajemen mutu dunia pendidikan Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan
:
1.
Perbaikan
secara terus menerus
Konsep ini
mengandung pengertian bahwa pihak pengelola pendidikan Islam (manajemen personalia)
senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan terus menerus untuk
menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah mencapai standar mutu
yang telah ditetapkan. Konsep ini juga berarti bahwa antara institusi
pendidikan senantiasa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan tuntutan
pelanggan. Jika tuntutan dan kebutuhan pelanggan berubah, maka pihak pengelola
institusi pendidikan Islam dengan sendirinya akan merubah mutu, serta selalu
memperbaharui komponen produksi atau komponen-komponen yang ada dalam institusi
pendidikan Islam.
Perbaikan
terus-menerus ini dilakukan secara menyeluruh meliputi semua unsur-unsur
manajemen pendidikan Islam, seperti; manajemen pembelajaran dan kurikulum
pendidikan Islam, manajemen personalia di lembaga pendidikan Islam, perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia manajemen peserta didik di lembaga pendidikan
Islam, dan manajemen hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat.[34]
2.
Menentukan
standar mutu
Paham ini
digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang
bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan
Islam. Standar mutu pendidikan Islam misalnya, dapat berupa kepemilikan,
kemampuan dasar pada masing-masing pembelajaran dan sesuai dengan jenjang
pendidikan yang ditempuh. Selain itu, pihak manajemen juga harus menentukan
standar mutu materi kurikulum dan standar evaluasi yang akan dijadikan sebagai
alat untuk mencapai standar kemampuan dasar.
Standar mutu
proses pembelajaran harus pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak manajemen
pendidikan Islam perlu menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang
diharapkan dapat berdayaguna untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk
melahirkan produk yang sesuai, yaitu yang menguasai standar mutu pendidikan
berupa penguasaan standar kemampuan dasar. Pembelajarn yang dimaksud
sekurang-kurangnya memenuhi karakteristik : menggunakan pendekatan pembelajaran
aktif, pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan
pembelajaran tuntas.
Begitu pula
pada akhirnya, pihak pengelola pendidikan Islam menentukan standar mutu
evaluasi pembelajaran. Standar mutu evaluasi yaitu, bahwa evaluasi harus dapat
mengukur tiga bentuk penguasaan peserta didik atas dasar standar kemampuan
dasar, yaitu penguasaan materi, penguasaan metodologi, dan penguasaan
keterampilan yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain
penilaian diarahkan pada dua aspek hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects. instructional effects adalah hasil-hasil yang kasat mata dari
proses hasil pembelajaran, sedangkan nurturant
effects adalah hasil-hasil laten proses pembelajaran, seperti kebiasaan
membaca dan kebiasaan memecahkan masalah.
Bagi
pendidikan Islam, mutu yang mengacu kepada output harus menghasilkan minimal
dua ranah yaitu, pertama terciptanya
manusia yang dapat mengakomodasi seluruh fenomena kehidupannya sesuai dengan
ajaran atau dasar al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua
terbentuknya manusia yang mempunyai skill
kompetitif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (ITC) sesuai dengan
perkembangan zaman.
3.
Perubahan
kultur
Konsep ini
bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu
sebagai orientasi semua komponen organisasi. Jika manajemen ini diterapkan di
institusi pendidikan Islam maka pihak pimpinan harus berusaha membangun
kesadaran para anggotanya, mulai dari pemimpin sendiri, staff, guru, pelajar,
dan berbagai unsur terkait seperti yayasan, orang tua dan para pengguna lulusan
pendidikan Islam akan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan mutu
pembelajaran baik mutu hasil maupun proses pembelajaran. Disinilah letak
penting dikembangkannya faktor rekayasa dan faktor motivasi agar secara
bertahap dan pasti kultur mutu itu akan berkembang di dalam organisasi
institusi pendidikan Islam. Perubahan kultur ke arah kultur mutu ini antara
lain dilakukan dengan menempuh cara-cara rumusan keyakinan bersama, intervensi
nilai-nilai keagamaan Islam, yang dilanjutkan dengan perumusan visi-misi
organisasi pendidikan Islam sesuai dengan ajaran sumber ajaran Islam.
4.
Perubahan
organisasi
Jika
visi-misi serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan,
maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi
ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur
organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja struktur organisasi yang
melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan
ini menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggungjawab. Misalnya,
dalam kerangka manajemen berbasis sekolah struktur organisasi dapat berubah
terbalik dibandingkan dengan struktur konvensional. Berdirinya yayasan dalam
pendidikan Islam merubah pola kepemimpinan manajemen organisasi di pesantren
maupun madrasah.
5.
Mempertahankan
hubungan dengan pelanggan
Karena
organisasi pendidikan Islam berbasis mutu menghendaki kepuasan pelanggan, maka
perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting.
Inilah yang dikembangkan dalam unit publik
relations.[35] Berbagai informasi
antara organisasi pendidikan dan pelanggan harus terus-menerus dipertukarkan,
agar institusi pendidikan senantiasa dapat melakukan perubahan-perubahan atau
improvisasi yang diperlukan terutama berdasarkan perubahan sifat dan pola
tuntutan serta kebutuhan pelanggan. Apalagi mengingat bahwa pendduduk Indonesia
mayoritas Islam, tentu pendidikan Islam harus mampu mengambil “hati” masyarakat
Indonesia.
Untuk itu,
pelanggan juga diperkenankan melakukan kunjungan, pengamatan, penilaian, dan
pemberian masukan kepada institusi pendidikan Islam. Selanjutnya semua masukan
itu akan diolah dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu proses dan
hasil-hasil pembelajaran. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
manajemen berbasis sekolah, guru dan staff justru dipandang sebagai pelanggan
internal, sedangkan pelajar termasuk orang tua pelajar dan masyarakat umum
masuk pada pelanggan eksternal. Jerome S. Arcaro menyampaikan bahwa terdapat
lima karakteristik sekolah atau lembaga pendidikan yang bermutu yaitu: 1) fokus
pada pelanggan, 2) keterlibatan total, 3) pengukuran, 4) komitmen, dan 5)
perbaikan berkelanjutan.[36] Maka, pelanggan baik internal maupun
eksternal harus dapat terpuaskan melalui
interval kreatif pimpinan insititusi pendidikan Islam.
III.
PENUTUP
Memasuki
abad ke 21 atau milenium ketiga ini, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai
masalah yang sangat urgen. Jika masalah ini tidak diatasi secara tepat, tidak
mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh putaran zaman. Kesadaran akan
tampilnya dunia pendidikan sebagai memecahkan dan merespon berbagai tantangan
baru yang timbul setiap zaman adalah hal yang logis, bahkan sebagai suatu
keharusan.
Pendidikan Islam
sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa,
tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan
menuju kesempurnaan, juga mempunyai kewajiban yang sama untuk memecahkan masalah yang ada tersebut.
Hanya saja,
kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini berada pada posisi yang sangat
memprihatinkan. Pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun
outputnya belum menunjukan data yang menggembirakan. Pada ranah institusional,
banyak ditemui lembaga pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau
layak secara standar kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam
penyelenggaraannya diiringi motif dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun
masih jauh dari mutu standar penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Jika
dilihat dari prespektif manajemen, maka pengelolaannya masih sangat
konvensional. Implikasinya adalah kualitas output yang ditelurkannya kurang
atau bahkan jauh dari standar mutu pendidikan global.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius pada lembaga
pendidikan Islam formal, maupun non formal untuk memainkan peran signifikan
pada arah pengelolaannya. Artinya diperlukan manajemen yang bermutu dalam
pengembangan lembaga pendidikan Islam yang profesional sebagai jawaban atas
problematika tersebut lebih-lebih dalam konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
Salah satu tawaran yang patut dipertimbangkan adalah
dengan memberikan sentuhan manajeman mutu dalam pendidikan Islam. Sebab, manajemen
mutu adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber
daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan
secara efektif dan efisien. berdasarkan ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian
tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan kepuasan
pelanggan. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara
konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan
kepuasan pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu
dalam dunia pendidikan Islam adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya
sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni
institusi yang memberikan pelayanan (service)
sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (costumer).
Beberapa hal yang dapat ditawarkan dalam manajemen
mutu pendidikan Islam adalah : perbaikan secara terus menerus, menentukan
standar mutu, perubahan kultur, perubahan organisasi, dan mempertahankan hubungan
dengan pelanggan pendidikan Islam.
Untuk keberhasilan penerapan manajemen mutu dalam
pendidikan Islam tersebut memang tidak mudah. Diperlukan komitmen dan kerjasama
yang baik antara lembaga terkait, pemerintah pusat dengan daerah, serta
institusi pendidikan setempat, serta masyarakat di sekitarnya. Jika manajemen
ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan
fleksibilitasnya, maka akan terjadi perubahan yang cukup efektif bagi
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Islam dan pendidikan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma
Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aassegaf, Abd. Rachman.
2011. Filsafat Pendidikan Islam;
Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Ali, Attabik. 2003. Kamus Inggris-Indonesia-Arab.
Yogyakarta: Mukti Karya Grafika.
Arifin, M. 1987. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Azra, Azumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Bastian , Aulia Reza.
2002. Reformasi Pendidikan:
Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi
Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Ellyasin, Muhammad dan
Nanik Nurhayati. 2012. Manajemen
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Farodis, Zian. 2011. Panduan
Manajemen Pendidikan ala Harvard University. Yogyakarta: Diva Press.
Fattah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hamalik,
Oemar. 2010. Manajemen Pengembangan
Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://hdr.
Undp. Urg/en/. Diunduh, 5 Oktober 2013, pkl. 23.15 WIB.
Hasibuan, Malayu. 2008.
Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Arcaro. S, Jerome.
2007. Pendidikan Berbasis Mutu:
Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sukarno. 2012. Budaya Politik Pesantren Perspektif
Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Interpena.
Komariah, Aan dan Cepi
Triatna. 2008. Visionary Leadership:
Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kompas. Edisi 1 Mei
2001.
Makawimbang, H. Jerry.
2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu
Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Media Indonesia. Edisi
29 Maret 2001.
Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhaimin, dkk. 2012. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhroqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Muriah, Siti. 2011. Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan
Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis. Malang & Yogyakarta: Aditya
Media Publishing.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Partanto, Pius dan
Dahlan Albari. 2001.
Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Republika, Edisi 8
Oktober 2001.
Salim, Peter. 1987. The Contemporary English Indonesian
Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Sallis, Edward. 2012. Total Quality Management in Education. Yogyakarta:
Ircisod.
Subroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah.
Jakarta: Rieneka Cipta.
Tobrani. 2008. Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis
dan Spiritualis. Malang:
UMM Press.
Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama. Malang: UMM Press.
[1] Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama, 2011), hlm. 83
[2] Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard
University, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
[3] Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan
dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan
Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
[4] Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif
Interaksionisme Simbolik, (Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 44
[6] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 1
[7] Siti Muriah, Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis
dan Praktis, (Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012)
[8] Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), cet. II, hlm. 32
[9] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 2. Lihat juga dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 36. Juga dalam Tobrani,
Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, (Malang: UMM Press,
2008), hlm. 19. Salah satu contoh ayat tentang manajemen adalah bentuk kata
derivasi dari dabbara (mengatur) yang
banyak terdapat dalam al-Qur’an yang pengertian sama dengan hakikat manajemen
adalah al-tadbir (pengaturan), yaitu
dalam surat as-Sajdah ayat 5 yang mendeskripsikan tentang :
ãÎn/yã tøBF{$#
ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$#
n<Î) ÇÚöF{$#
¢OèO ßlã÷èt
Ïmøs9Î) Îû 5Qöqt tb%x.
ÿ¼çnâ#yø)ÏB y#ø9r& 7puZy $£JÏiB tbrãès? ÇÎÈ
Artinya “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang
kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. As-Sajdah : 5)
[10] Muhroqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
LKiS, 2009), hlm. 17
[11] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), hlm. 15
[12] Achmadi, Ideologi..., hlm. 31
[13] Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), hlm. 29-30
[14] Detailnya lihat dalam
Azumardi Azra, Renaisans Islam Asia
Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1999)
[15] Laporan Bank Dunia
sebagaimana diberitakan harian umum Kompas, edisi I Mei 2001
[16] Media Indonesia dalam
laporan pendidikan dan kebudayaan, edisi 29 Maret 2001
[17] Republika, edisi 8
Oktober 2001 dengan judul: Kualitas
Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Asia.
[19] Pius Partanto &
Dahlan Albari, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arloka, 2001), hlm. 440
[20] Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi
Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 33
[21] Muhammad Eliyasin &
Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), hlm. 60
[22] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 1
[23] Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), hlm. 1-2
[24] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 16
[26] Peter Salim, The Contemporary English Indonesian
Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1987), hlm. 550
[27] Attabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab,
(Yogyakarta: Mukti Karya Grafika, 2003), hlm.1043.
[28] Aan Komariah dan Cepi
Triatna, Visionary Leadership: Menuju
Sekolah Efektif, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 9
[29] B. Suryobroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah,
(Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), hlm. 210.
[30] Edward
Sallis, Total Quality Management in
Education, terj. Ahmad Ali Riadi & Fahrurozi, (Yogyakarta: Ircisod,
2012), hlm. 52.
[32] Ibid., hlm. 29-30.
[33] Ibid., hlm. 6.
[35] Menurut
Jhonson sebagaimana dikutip Nur Kholish bahwa lembaga pendidikan bisa maju
ketika didukung empat hal, yaitu: pertama,
memiliki tujuan yang jelas berkaitan dengan pencpaian akademis. Kedua, memiliki staf yang berpeilaku
positif dalam kerjasama dengan koleganya. Ketiga,
mempertahankan keseimbangan antara tuntutan akademis dan administratif. Keempat, mempertahankan hubungan dengan
lingkungan luar, orang tua dan masyarakat. Lihat Mukhamad Ilyasin dan Nanik
Nurhayati, Manajemen..., hlm. 117
[36] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah
Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar