Kamis, 02 Januari 2014

ANALISIS JUDUL TESIS MELALUI PENDEKATAN FILSAFAT



ANALISIS JUDUL TESIS MELALUI PENDEKATAN FILSAFAT
Oleh : Ilhamdi

A.  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL ; Pengembangan Konsep Dan Aplikasi Pendidikan Agama Islam Di SMK Negeri 1 Sintang (Keyword : Pendidikan Islam, Pendidikan Multikultural, Pengembangan Konsep dan Aplikasi dan Pendidikan Agama Islam)
B.  Analisis Judul secara Filsafat
Ujud
Proses
Fungsi
Pengembangan Konsep
Aflikasi
Pendidikan Islam, Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Agama Islam
Unsur
Ciri
Sifat
Budaya, Adat istiadat, Suku, etnis, Ras, Aliran (paham) , Bahasa dan Bangsa
Multikultural
Toleransi dan pengakuan terhadap Multikulturalisme dalam kehidupan

C.  Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, konflik sosial, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang terletak di pulau Kalimantan, memiliki penduduk yang sangat heterogen dengan berbagai corak warna budaya. Pernah mengalami berbagai konflik sosial dan perselisihan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan baik dari segi suku, budaya adat istiadat, etnik, bahasa, agama dan berbagai macam keragaman lainnya. Berangkat dari sejarah kelam tersebutlah maka penulis mencoba untuk memberikan satu solusi alternatif dalam menghadapi berbagai permasalahan akibat konflik yang pernah terjadi. Jika selama ini pendidikan agama Islam yang diajarkan masih bersifat statis (kaku) dan bersifat Monokultur baik materi dan kurikulumnya, dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas, memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif  dimana materi yang diajarkan selama ini lebih disibukkan oleh urusan kalangan sendiri (individual affairs) dalam bentuk al-ahwal al-syakhsiyyah (individual morality) dan kurang peduli pada isu-isu umum dalam bentuk al-ahwal al-ammah (public morality).[1]  Pola pendidikan agama Islam semacam inilah yang dalam perkembangannya cenderung didasarkan kepada semangat kelompok. Ada beberapa bentuk keberagamaan yang berdasarkan kepada semangat kelompok yaitu parokialisme, sektarianisme, ghettoisme, tribalisme, fasisme dan ekslusivisme.[2]  Sedangkan pendidikan Islam berbasis Multikultural menawarkan satu alternatif melalui pengembangan konsep dan aplikasi pendidikan agama Islam yang meliputi; 1. Melakukan semacam pergeseran titik perhatian dari agama ke religositas, 2. Memasukkan kemajemukan, 3. Menekankan pada pembentukan sikap berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain sebagainya. Sedangkan  dalam pengajaran materi Pendidikan agama Islam tidak bersifat statis(kaku) dan monokultur yang meliputi; 1. Bukan hanya ilmu-ilmu keislaman klasik akan tetapi pendekatan keilmuan sosial keagamaan yan berkembang saat ini juga penting diperkenalkan (diajarkan), 2. Tidak bersifat doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi historis dari doktrin-doktirn keagamaan tersebut, 3. Tidak hanya bertumpu kepada tekstual tapi perlu juga secara konstekstual dengan memerlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil dari disiplin psikologi, sejarah, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik dan ilmu-ilmu, untuk menjelaskan hakikat, visi dan misi agama Islam yang fundamental, 4. Dalam materi pembelajaran PAI tidak hanya harus bermuatan ilmu kalam akan tetapi ilmu tasawuf juga harus disampaikan, 5. Pembentukan keshalihan sosial bukan hanya keshalihan individual semata.[3]   Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan, secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham).  Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan agama Islam berbasis Multikultural adalah seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
1.    Kalimat Deduktif : “Seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan Multikultural seperti demokrasi, humanisme dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa.
2.    Kalimat induktif : “Melalui pendidikan agama Islam berbasis Multikultural diharapkan  out-put yang dihasilkan dari sekolah tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan pemeluk agama dan kepercayaan lain melalui sikap toleransi.
3.    Pernyataan Deksripsi : “Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, konflik sosial, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
4.    Pernyataan Eksplanasi : “Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan, secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham).  Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan agama Islam berbasis Multikultural adalah seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa.
5.    Pernyataan Komparasi : “Jika selama ini pendidikan agama Islam yang diajarkan masih bersifat statis (kaku) dan bersifat Monokultur baik materi dan kurikulumnya, dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas, memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif  dimana materi yang diajarkan selama ini lebih disibukkan oleh urusan kalangan sendiri (individual affairs) dalam bentuk al-ahwal al-syakhsiyyah (individual morality) dan kurang peduli pada isu-isu umum dalam bentuk al-ahwal al-ammah (public morality).  Pola pendidikan agama Islam semacam inilah yang dalam perkembangannya cenderung didasarkan kepada semangat kelompok. Ada beberapa bentuk keberagamaan yang berdasarkan kepada semangat kelompok yaitu parokialisme, sektarianisme, ghettoisme, tribalisme, fasisme dan ekslusivisme.  Sedangkan pendidikan Islam berbasis Multikultural menawarkan satu alternatif melalui pengembangan konsep dan aplikasi pendidikan agama Islam yang meliputi; 1. Melakukan semacam pergeseran titik perhatian dari agama ke religositas, 2. Memasukkan kemajemukan, 3. Menekankan pada pembentukan sikap berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain sebagainya. Sedangkan  dalam pengajaran materi Pendidikan agama Islam tidak bersifat statis(kaku) dan monokultur yang meliputi; 1. Bukan hanya ilmu-ilmu keislaman klasik akan tetapi pendekatan keilmuan sosial keagamaan yan berkembang saat ini juga penting diperkenalkan (diajarkan), 2. Tidak bersifat doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi historis dari doktrin-doktirn keagamaan tersebut, 3. Tidak hanya bertumpu kepada tekstual tapi perlu juga secara konstekstual dengan memerlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil dari disiplin psikologi, sejarah, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik dan ilmu-ilmu, untuk menjelaskan hakikat, visi dan misi agama Islam yang fundamental, 4. Dalam materi pembelajaran PAI tidak hanya harus bermuatan ilmu kalam akan tetapi ilmu tasawuf juga harus disampaikan, 5. Pembentukan keshalihan sosial bukan hanya keshalihan individual semata.
D.  Dasar Pemikiran
Adapun yang menjadi inspirasi penulis dalam mengambil rancangan judul tesis ini dilatarbelakangi kondisi daerah asal penulis yaitu Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat di mana masyarakatnya sangat heterogen dan majemuk. Kehidupan masyarakat yang plural-multikultural tersebutlah menjadi salah satu faktor penyebab konflik sosial yang pernah terjadi di bumi Kalimantan Barat (baca: konflik Sambas). Rasanya tidak berlebihan rancangan judul tesis ini penulis angkat dikarenakan penulis mempunyai semangat dan tekad bagaimana masyarakat yang sangat pulral dan multikultural tersebut bisa dan mampu hidup berdampingan dan bersatu dalam suasana damai dengan tidak melihat perbedaan.





[1] . M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),           hal. 140-142
[2] . Th. Sumartana, Pluralisme dan Dialog Antaragama dalam Keadilan dan Kemajemukan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hal. 21.
[3] . M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), hal. 78-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar